Kita Hanya Kata yang Tak Mampu Di eja Makna.
Kita Hanya Kata yang Tak Mampu Di eja Makna.
Hari yang menyenangkan bagiku.
Senin menuju minggu, seolah berjalan dengan sangat menggebu. Kau tahu, setiap
hari yang aku nanti adalah waktu yang kuharap tak akan berganti. Entahlah,
harus seperti apa aku gambarkan ceriaku saat itu. Tapi, yang jelas bahagia itu
sederhana sekali rupanya. Sesederhana seperti balasan percakapan via room chat
whatsapp, aplikasi hijau yang kita gunakan untuk saling berkabar. Sesederhnana
senyuman mu yang kerap terbersit tiba-tiba dikepalaku. Mungkin, receh dan remeh
temeh tapi tidak bisa aku pungkiri adanya. Ini kisah ku yang sebetulnya tidak terlalu menarik, tapi tetap akan selalu menjadi bagian yang baik untuk pendewasaan diriku.
Aku, Rara. Mahasiswi semester
awal, disalah satu Universitas di Kota ini. Kota yang pada akhirnya membawa ku
untuk mengenalmu, di gedung dan jalanan yang sempat kita lalui bersama. Aku
ingat sekali, waktu itu kau juga Maba, hanya saja berlainan Prodi denganku.
Tapi, mungkin memang jalannya begitu, semesta membawa kita bersama hingga pada
saatnya, kita kembali. Kembali asing, maksudku.
Berkenalan dengan cara yang
terlalu indah alurnya, tak bisa aku gambarkan dengan terperinci, Yang jelas
ingatan semua tentang itu masih melekat dikepala. Seolah tak ingin hilang dari
ingatan dan memilih untuk terus terngiang-ngiang.
Waktu itu aku mendapati mu di
lantai 1 sedang bersama teman-temanmu, tepatnya aku duduk di gedung Auditorium
bersama dengan teman-teman ku. Sempat saja aku melihat senyummu merekah bersama
teman mu, dan terbersit di benakku saaat itu ketika melihatmu. Kemudian, aku
tanyakan kepada temanku yang ternyata sekelas dengan mu.
Kemudian, 18 Februari 2020.
Hari yang dengan jelas terekam dikepala. Kita bertemu di Prodi PAI dengan
sengaja. Tapi, sebelum itu, aku melihat mu membawa tumpukkan kertas yang
ternyata adalah sertifikat yang akan kau berikan kepada entah siapa di prodi
PAI. Kita bertemu seperti orang biasa lainnya, saling melempar tawa dan yaa,
begitulah maksudku. Kau pasti paham bagaimana perjumpaan itu terjadi.
Singkat cerita, hari yang biasa
dinantikan oleh pemuda pemudi biasanya. Kau mengajakku nonton di Bioskop. Dan
tentu saja tidak ada penolakkan bagiku. Kita nonton, kemudian selesai itu kita
menyusuri jalanan pantai di Kota ini. Dan benar saja, semua momen ini teringat
gambalang, seolah dengan hati-hati aku mengingatnya lagi. Hingga pada akhirnya,
kau menyatakan bahwa kau menyukaiku, apakah aku bersedia untuk bersama denganmu
menjalani hari-hari. Ahhhh, kenapa semuanya teringat dengan jelas, dan
mengingatnya kini, semakin membuat aku merasa bahwa bersama denganmu adalah
bahagia yang tak terkira.
Yaa, kau tentu tidak mendapat
penolakan dari diriku. Aku bahkan dengan tenang dan senang menerima mu yang
hadirnya memberi banyak senyum dan tawa.
Kita memulai semuanya dengan
baik, menjalani hari-hari dengan ceria dan penuh tawa. Banyak tempat yang kita
singgahi, wahana yang kita kunjungi dan momen-momen yang menuntut kita
sama-sama belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Hingga waktu tak terasa
berjalan satu tahun dengan sangat mempesona. Disaat kau berulang tahun, kejutan-
kejutan ku berikan tepat dimalam pergantian hari menuju ulang tahunmu di jam
00:00 , hadiah- hadiah yang terbilang sederhana, namun aku berikan untuk dirimu
yang spesial bagiku. Sebuah jaket denim yang kupikir akan sangat cocok untuk
kau kenakan, disertakan setangkai mawar putih dan secarik kertas bertuliskan
doa pengharapan baik. Tidak lupa aku menyematkan kata-kata puitis yang intinya
aku ingin kau setia membersamaiku, tidak akan berpaling, kecuali jika memang
aku yang berpaling lebih dulu dari mu.
Tapi , semua itu indah saja,
entah kala terjadi maupun saat dikenang seperti hari ini . Tanpa ada kelanjutan
keindahannya. Karena mungkin memang begitulah adanya. Yang jelas, kini
mengingat semua itu tidak lagi menjadi masalah bagiku. Munafik sekali jika aku
katakan bahwa aku sudah melupakanmu. Faktanya, meskipun kau sudah berlabuh
dilain hati, meninggalkan aku seorang diri bersama kenangan-kenangan indah itu,
aku tetap menyukaimu, aku tetap belum bisa melupakanmu, melupakan kebersamaan
diantara kita. Karena bagiku, hari yang berganti menyulan bulan dan berganti
tahun itu bukanlah waktu yang singkat. Terlalu banyak kata untuk
mendeskripsikannya.
Kau lelaki yang baik, sebaik namamu.
Ramadan, seberkah Ramadhan Karim. Tapi, tidak bisa aku pungkiri kalau memang
faktanya tidak ada yang abadi didunia ini. Termasuk kebersamaan diantara kita.
Termasuk waktu-waktu yang kita tapaki bersama. Termasuk senyum-senyum yang
sempat terukir di bibir. Semuanya harus berakhir, tanpa bertanya kita mau atau
tidak, tanpa bertanya kita siap atau tidak, dan tanpa peduli bagaimana nantinya.
Kini, Aku dan kau sudah
dijalannya masing-masing dengan sedikit menjadi asing. Aku dan kau sudah di
semester 4 dan puing-puing kenangan bersama mu tetap dengan utuh menjadi mozaik
nan indah di relung hati. Kau tahu sekarang mengingatmu tidak lagi membuat
sesak di dada, tidak lagi membuat luka yang kentara. Karena, sekarang aku sudah
paham bahwa bukti terbaik mencintai adalah mengizinkan dia yang ku cintai
menjalani hari-harinya dengan bahagia, meski bukan bersama aku. Ku doakan
kebaikan bagimu, karena memang pada dasarnya cinta adalah orientasi kebaikan.
Selamat menjalani hari-hari mu lagi, meski tanpa aku. Dan biarkan aku
memulihkan hatiku yang sempat hancur berkeping sendirian. Bukankah memang
hakikatnya kita semua akan sendirian. Daun-daun yang tumbuh bersamaan, akan
meninggalkan ranting dan tetap tidak membenci angin. Kecambah-kecambah yang
lemah, tetap akan tumbuh tertatih dan mekar, lalu mereka pun sama-sama
mengalami keterasingan.
Ceritanya ngena hemm
BalasHapusMakasiih udh baca wkwkw Jan bosan baca ya,
HapusMungkin itulah yg dinamakan sesuatu itu tidak ada yang abadi ,entah hilang bahkan bisa diambil orang
BalasHapusMakasiih udah mampir. Begitulah kehidupan. Tidak semua nya akan ada sampai akhir hahaha
BalasHapusKereeeenn bangettt
BalasHapusSemangat menulis. Jadilah pegiat literasi, org literat nan beradab❤️
BalasHapus