As a long life learner
Hai, sungguh
lama sekali tidak bersua dengan blog ini, wadah kecerdasan linguistikku
tertampung, meski kataku isinya hanya cuarahan isi kepala saja, bukan ide-ide
besar yang layak untuk dianalisis sintaksis maupun gramatikalnya. Hanya Bahasa sederhana,
gagasan jiwa dan tempat 20.000 kata ku tersalurkan (meski aku tidak yakin aku
golongan 20.000 wwkwkk)
Aku ingin
mnceritakan perjalanan setengah tahunku, sejak Juli lalu aku disibukkan dengan
drama-drama pemberkasan beasiswa. Berhubung anak kedua dari enam bersaudara
yang cukup rendah hati dan tidak ingin merepotkan ayah mama, tentu aku sangat
ingin menjadi awardee yang dibiayai oleh negara. Maka, aku memeprsiapkan segala
hal yang berkaitan dengan itu. Dimulai dari mendaftar di program studi s2
pendas, membayar uang pendaftaran, mengisi blangko pendaftaran, lalu mengikuti
tes, dan mendapatkan LoA. Tentu ini, tidak sesederhana kelihatannya. Malahan
ini adalah gazebo pertama yang membelalakkan mataku terhadap cerita-cerita
dibalik layar, dan ibrah bahwa “hidup ini lurus saja, patuhi aturan, ikuti
ketentuan, sesuai prosedur, insyaallah berkah” begitu pesan ayahku sewaktu aku
ceritakan cerita dibalik layar yang sedikit pilu.
Beranjak setelah
mendapatkan LoA, aku mencari tau form beasiswa apa yang akan aku ikuti. Aku
memiliki 2 list pprioritas diantaranya Beasiswa Unggula dan BPI. Beasiswa
Unggulan tentu diurutan pertama karena sewaktu Maba S1 aku sudah nyaris menjadi
Awardee wkwk tapi ternyata belum berjodoh waktu itu, dan akan aku perjuangkan
lagi, tentu saja. Dan BPI yang baru- baru ini aku dengar.
Setelah
membaca keselurhan buku panduan, aku memutuskan untuk mendaftar Beasiswa
Unggulan, berbekal pengalaman dulu sewaktu S1, dan informasi-informasi yang
bisa saja aku dapatkan dari manasaja, aku mengumpulkan semua berkas. Pertama,
aku mengikuti tes UKBI, yaitu Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang diadakan
oleh Balai Bahasa, adapun skor UKBI yang harus diperoleh jika ingin mendaftar
Beasiswa Unggulan untuk jenjang Magister adalah 573 (Unggul). Sertifikat UKBI
ini akan menjadi karcis untuk mendaftar BU selanjutnya. Akhirnya aku mengikuti
tes UKBI pada 3 Juli, dengan membayar biaya 300.000 dengan jenis soal
Profesional. Dan alhamdulillah aku memperoleh skor 683 (Sangat Unggul).
Alhamdulillah.
Kemudian,
aku membuat akun di web BU. Mengisi biodata seperti nama, tempat dan tanggal
lahir, nama orang tua, KTP, ijazah, lengkap dengan mengunggah prestasi,
sertifikasi, dan kompetensi, dan bab paling krusial ialah menulis essay dan
rencana studi. Pada bagian menulis essay dan rencana studi ini, aku memerlukan
waktu yang cukup lama dari yang aku kira. Aku kira aku bisa menyelesaikannya 3
hari saja, ternyata aku butuh waktu 1 minggu untuk percaya diri mengunggah
essay dan rencana studiku. Essay yang menceritakan aku secara pribadi, kegiatan
yang sudah aku lakukan sejak aku menjelma mahasiswa S1, hingga saat ini. Dan
rencana yang akan aku lakukan di rencana studi. Alhamdulillah aku menulis semua
itu dengan realitas sesuai pada sebenar-benarnya diriku, sebab aku ingat
seseorang dulu pernah menasihati untuk menuliskan sesuai dengan jati diri,
karena akan di cross check di mock up interview atau wawancara. Dan bagian yang
tidak kalah penting yaitu surat rekomendasi. Alhamdulillah aku direkomendasikan
oleh Profesor Pembimbing Akademikku, yang juga menjadi role model ku. Wanita keren
nan sistematis yang karyanya sudah membahana, langkahnya sudah kemana-mana, dan
sebuah kebanggan bisa menjadi salah satu mahasiswa yang cukup dekat dengan
beliau. Alhamdulillah.
Setelah aku
memfinalisasi akun pendaftaran si Unggul ku, aku sepenuhnya sudah berusaha dan
sekarang waktunya untuk berdoa. Meminta pada yang Esa untuk memudahkan
jalannya. Sesbab, aku percaya manusia hanya sebaik-baiknya perencana, namun
keputusan akhir tetaplah milik-Nya. Hingga sewaktu 10 September aku dinyatakan
lolos tahap 1. Dan akan melakukan wawancara pada 29 Agustus 2024.
Alhamdulillah.
Tidak ingin
membuang waktu percuma, aku mengambil langkah untuk belajar dan mempersiapkan
seluruh pertanyaan yang memungkinkan untuk ditanyakan nanti. Aku menulisnya
membuat folder sebagai “preparation as a awardee”. Namun, disela-sela waktu
menunggu jadwal wawancara itu, aku membantu dosenku untuk melakukan pengabdian
di Kepahiang, dan di Kota Bengkulu, Bentiring. Tetap mengisi hari-hariku dengan
kegiatan yang bisa aku lakukan sembari menunggu waktu.
Hingga hari
yang ditunggu itupun tiba. Sesuai jadwal jam 8 pagi aku sudah menghidupkan
Laptop ku, aku sudah rapi mengenakan jilbab dan skincare pagi supaya tampak
cerah dan bersemangat. Hingga aku di hubungi oleh fasilitator yang akan
menghubungkanku dengan pihak pewawancara. Hingga, aku di gabungkan untuk
bergabung ke zoom, menghadap pewawancara dengan senyuman termanis ku. Tanpa
babibu, ibu pewawancara itu menyapaku ramah dan mempersilahkan aku
memperkenalkan diri. Kemudian aku memperkenalkan diri, menyampaikan namaku,
asalku, dan statusku sekarang sebagai seorang mahasiswa baru program Magister. Sesuai
seperti dugaanku, karena aku membawa arah obrolan ini pada ranah akademik, maka
ibu pewawancara menanyakan apa alasanku untuk melanjutkan pendidikan? Mengapa aku
memilih UNIVERSITAS ini? Dan Prodi ini? Kemudian aku menjelaskan semuanya
sesuai seperti apa yang aku tuliskan pada essay dan rencana studi, aku
sinkronkan dengan prestasi dan kompetensi yang pernah aku raih yang sejalan
dengan topik obrolan. Kemudian, aku masuk ke bagian yang krusial yakni
pendalaman karakter. Ibu pewawancara menanyakan dari sederet prestasi yang
kuraih, prestasi apa yang paling membanggakan bagiku? Jujur, aku menjawab ini
dengan canggung. Sebab aku merasa aku tidaklah sebegitunya. Prestasi yang
paling membanggakan untukku bukanlah ketika aku mampu mencapai misi diri
pribadi, melainkan ketika aku mampu berdampak dan bermanfaat bagi sekiatrku. Ketika
aku menjadi Tutor Inspiratif Gerakan Mengajar Desa Nusantara. Inilah titik
balik dimana aku merasa berharga. Sebuah pengalaman yang membawakan banyak
pelajaran bermakna bagi diriku, melihat realitas pendidikan hari ini. Di desa
terpencil 3T di Provinsi Bengkulu, ditempuh dalam waktu 3jam lebih, melewati
tanah merah nan gersang, sungai jernih dan hijau. Melalui truk truk sawit yang
berdebu. Aku dan rombongan tiba di desa Padang Serunaian. Desa kecil, dan mengabdi
selama 10 hari. Membersamai anak-anak SD 97 Seluma, dalam kondisi yang mebuat
hatiku jujur saja sedikit meringis. Jumlah siswanya tidak samapai 50 orang dari
kelas 1 sampai kelas 6. Bagaimana tidak, kelas 1 hanya 7 anak, kelas 2 hanya 4
anak, kelas 3 hanya 3 anak, kelas 5 17 anak dan kelas 6 hanya 8 anak. Namun,
semangat mereka untuk belajar patut ku acungi 4 jempol. Aku melihat sendiri
bagaimana mata mereka berkaca-kaca ketika ku sunguhkan permainan melalui
laptop, mata mereka berbinar ketika aku tayangkan video kartun untuk belajar
membaca huruf hijayyah bersama mereka, mata mereka penuh cahaya ketika aku
tampilkan video yutube anak-anak yang bergerak ketika mengajarkan penjumlahan,
belum lai antusias mereka saat teman-teman ku yang lain mengajarinya bernyanyi,
mengajarinya untuk baris-berbaris, mengajari mereka cara mencuci tangan yang
benar, mengajari mereka bagaimana caranya menulis not angka, mengajari mereka
menyanyikan lagu-lagu nasional. Semua itu terekam jelas di kepala ku. Di desa
yang kecil itu, mereka hidup dan belajar. Bersama dengan keterbatasan sarana
dan prasarana, keterbatasan guru dan gedung sekolah yang sudah lapuk di makan
usia. Namun, semuanya itu merupakan pelajaran berharga bagiku. Hingga pada
akhirnya hari ke 10 tiba. Dengan berat hati kami meninggalkan anak-anak itu. Anak-anak
yang setiap hari selalu mendatangi tempat kami tinggal. Entah mengajak main
volli di sore hari, mengajak mandi di aik Maras
yang merupakan Bahasa daerah dari sungai, dan sekedar ngobrol dan bercengkrama.
Sungguh anak-anak yang cerdas. Dengan berat hati, aku meninggalkan mereka,
namun tidak apa-apa. Setidaknya aku pernah menempatkan diriku berarti bagi sesame,
meski sebentar pikirku menghibur diri. Toh, nanti bisa saja kesini lagi. Walau belum
pernah realitanya kini.
Kemudian ibu
pewawancara tampak sedikit berkaca-kaca, entah aku menyampaikannya penuh dengan
kenangan dan emosional, atau mungkin alasan lainnya. Ibu pewawancarapun
mempertanyakan hal yang lebih serius lagi. Beliau menanyakan “jika dibandingkan
dengan teman-teman seusiamu, kamu ada di range nilai berapa?” sebuah pertanyaan
yang tentu tidak aku pahami dengan mudah, namun aku jawab dengan cepat sesuai
hemat pikir ku. Aku smapaikan saja bahwa aku tidak membandingkan diriku dengan
orang lain, Karen menurutku setiap orang pasti berproses dan berpogres dengan
jalannya endiri dan dalam timeline nya sendiri-sendiri. Tidak apple to apple
untuk membandingkan sovia dengan temannya, karena sovia punya garis takdir dan
perjalanannya sendiri. Aku tidak terlalu yakin apakah ini jawaban yang tepat
atau tidak, namun ini adalah jawaban yang sangat aku banget “exactly me !”
begitulah kira-kira. Aku berharap semoga saja ini jawaban yang ideal
setidaknya.
Begitulah keseruan
juli- September dan diakhiri dengan pengumuman kelulusan tahap 2 yang
menandakan aku resmi menjadi Awardee Beasiswa Unggulan 2024. Sangat
menyenangkan perjalanan ini, Karena hari ini setelah aku kials balik ternyata
tidak ada salahnya menjadi “luruus”, sesuai prosedur dan stay private. Alhamdulillah,
doa ayah dan mama ku dikabulkan kali ini. Dan per beberapa hari belakangan aku
disibukkan dengan Kegiatan Pembekalan sebagai Awardee Beasiswa Unggulan. Alhamdulillah,
semoga dengan menjadi Awardee BU aku dapat bermnfaat lebih jauh dan dalam
posisi yang strategis, mengantarkan aku pada cita-cita terbaik di masa depan,
mengantarkan aku pada hal-hal baik dan kebermanfaatan yang luas bagi sekitar.
Karena, aku harus terus bertumbuh dan belajar, hidup bukan untuk kemarin dan
hari ini saja, masih ada masa depan yang harus dan akan selalu LAYAK untuk
diwujudkan. Terimakasih Sovii, terimakasih untuk tidak pernah berhenti………………………………………………………..
Sampai jumpa
dalam keseruan lainnya
Be happy, Be
YOU !
Komentar
Posting Komentar