AKSARA CINTA
Ini malam kesekian yang diisinya dengan lembaran-lembaran cinta, goresan-goresan ketelatenan yang menorehkan banyak maknanya disana. Benda-benda yang tidak lagi digemari di abad ini, diera kecanggihan dan transformasi informasi serba instan. Sebab manusia lebih suka pada benda pipih nan canggih, mengutak-atiknya, menggeser fitur-fiturnya serta tidak lupa untuk tetap menjaga eksistensinya dalam dunia yang maya, atau dalam ilmu fisika disebut juga semu.
Malam yang hening, senyap dan lengang adalah saat terbaik untuk mengenang kenangan yang tertoreh di sana, dalam lembaran-lembaran cinta itu. Kisah sepasang manusia yang telah terlewati berabad-abad pun masih terbingkai rapi didalamnya, membuat hanyut siapa saja yang membacanya, seolah hidup dan menyaksikan sendiri kehebatan sesuatu yang abstrak tak terlihat yang masih disebut dengan panggilan yang sama sejak dahulu, yaitu cinta. Cinta yang katanya indah, seolah didefinisikan dengan semua diksi yang baik. Padahal jika mengulik lebih jauh didalamnya tidak semuanya berakhir bahagia seperti ekspektasi, ada yang menjadi gila karena cintanya yang teramat dalam seperti kisah Laila Majnun, ada yang berakhir mati karena cinta yang teramat tidak terbantahkan lagi, seperti kisah Romeo dan Juliet.Bahkan kisah Agung yng masih dijadikan rujukan hingga hari ini, mengenai berpisahnya Hawa dan Adam karena terusir dari surga. Kemudian berjumpa lagi ditempat yang indah-Jabbal Rahmah.
"Ah, novel kisah cinta memang selalu menarik" batin Lail sembari tersenyum simpul. Kebiasaan untuk membaca buku itu ia lakukan meski ia sudah hidup diera transformasi digital, era industrialisasi, dan otomatisasi. Lail, remaja yang tidak seperti kebanyakkan anak seusianya. Lail, anak yang sederhana, tidak bersahabat baik dengan kecanggihan teknologi, bukan, bukan karena ia canggung dan gagap teknologi. Tetapi, ia merasa kehilangan teman-temannya karena benda pipih itu.
Teman-temannya terlalu mencintai gawai mereka, sehingga tidak lagi menggubrisnya yang antusias menceritakan buku yang ia baca semalam. Teman-temannya asyik mencontek semua yang ada di gawai mereka, seperti gaya berpakaian misalnya. Lail cukup kehilangan banyak hal karena teknologi itu, teman-teman yang awalnya berpakaian layaknya ustadzah, sebagaimana memang seorang perempuan muslim dianjurkan, sekarang malah eksis dengan fashion tren kekinian, dengan celana baggy diatas mata kaki, sedikit digulung sehingga memunculkan kesan jenjang dan tinggi. Dengan baju yang mini, pas seukuruan bahu hingga pinggang tidak kurang barang sesenti, sehingga bersiluet tubuh yang mungil, nan imut. Lengkap dengan hijab,eh penutup kepala hingga leher yang terbuat dari kain panjang, sedikit transparan yang dililit dengan banyak jarum sudah seperti terapi akupuntur. Begitulah kebanyakkan remaja putri seusinya sekarang.
Tak jarang ia juga memperhatikan teman-temannya sibuk dengan dandanan make up mereka, pipi yang merah merona seperti sudah bertarung di ring tinju seperti yang biasa ia tonton bersama Abinya, bibir yang merah merekah sudah seperti kulit apel yang biasa dikupas Uminya saat sarapan pagi. Begitulah ia melihat banyak perubahan yang terjadi sangat signifikan. Ia benar-benar telah kehilangan teman-temannya, ia juga cukup terkagetkan dengan maraknya aplikasi-aplikasi yang entah apa faedahnya, membuat teman-teman nya benar-benar terasa asing bagi Lail. Teman-temannya berjoget riang, menggerakkan tubuh dengan ceria nan penuh semangat sudah seperti peserta senam aerobic yang biasa digelar disekolahnya per akhir semester. Musik-musik yang tergaungpun sangat asing didegarnya, entah dalam bahasa apa, atau dari negara bagian mana,yang jelas semua itu berhasil membuat Lail keanehan dan merasa sendirian. Tidak lagi ada teman-teman yang akan mendengar kisah yang telah ia tuntaskan semalaman, tidak akan ada lagi teman yang bisa ia ajak pergi kekajian dengan busana syari seperti yang selama ini mereka kenakan bersama, dan tidak akan ia temukan lagi temannya yang menunduk tersipu malu saat dilihat oleh para siswa lelaki diseberang gedung sekolahnya, yang kini bahkan dengan suka rela menggerakkan tubuhnya sembari memvideokan diri, menunjukkan eksistensinya lahir diabad ini.
"Semuanya benar-benar membosankan" Lail membatin sepanjang perjalanan pulang menuju rumah. Ia berjalan kaki mengingat jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh. Menembus kepenatan harinya yang terasa sunyi meski dalam keramaian. Sesampainya dirumah, ia menyalami Uminya. "Pulang-pulang kok cemberut, lapar ya" tanya Umi yang memecah lamunan Lail. "Nggak Mi, cuma aneh aja" jawabnya singkat sambil menuju ke kamar. Uminya melihat Lail dengan segenap tanda tanya yang membara. Tapi ia membiarkan Lail beristirahat, barangkali ia lelah pikirnya.
Ba'da Ashar, Lail membantu Umi didapur, mencuci piring sambil membuka topik pembicaraan yang selama ini ia alami, mengenai perubahan teman-temannya. Mengenai semua ketidaksamaan keadaan yang sekarang suka tak suka ia jumpai dalam kehidupannya. Dan Umi hanya menanggapinya dengan nasihat yang singkat dengan makna yang dalam “Hari berganti, zaman berubah,Lail. Perubahan itu terjadi karena hakikatnya bumi berotasi, maka apa yang ada bersamanya pun berubah seperti roda. Kita hanya perlu berlapang dada menerimanya, menjalankannya dengan segenap keberanian yang tersisa”. Kalimat yang hebat bukan. Umi Lail bahkan sudah seperti ahli filsafat dengan kalimat pemuka filosofisnya.
Lail termenung mengingat yang dikatakan Umi, memang benar semuanya itu. Zaman berubah, hari berganti, waktu berlalu. Semuanya terjadi bahkan sekalipun kita tidak suka. Dan manusia ialah makhluk yang dinamis, alhasil yang terjadipun kadang tidak selalu sesuai prediksi dan ekspektasi. Tapi, kita tetap bisa menerima semuanya dengan lapang dada, bersahabat dengan realita dan tetap mengupayakan segenap perbaikan-perbaikan.
Mungkin memang harus begini pikir Lail, ia hanya perlu untuk tetap menerima semuanya, meski tidak sama lagi. Seperti animasi kasayangannya yang telah lenyap di televisi yang ia nantikan setiap hari, cerita rakyat dan fabel yang selama menemani hari-harinya. Semua itu tereliminasi oleh pergeseran waktu, perubahan zaman yang juga cenderung membuat gaya hidup dan pola pikir manusia berubah.
Sekarang Lail paham kalau sebetulnya semuanya akan berubah, semua hanya soal waktu saja. Cepat atau lambat semuanya berganti, maka ia harus mengokohkan hati.
Komentar
Posting Komentar